Kekuatan Keluarga

Senin ini tiba-tiba ada kabar kajian spesial di MBT KP DJBC. Dengan pembicara seorang counselor sekaligus trainer di Rumah Keluarga Indonesia, juga merupakan  Kompasioner terfavorit 2014, dan penulis buku-buku tentang pernikahan dan keluarga, Ustadz Cahyadi Takariawan. Topiknya adalah "Kekuatan Keluarga". Pembicara membuka sesi dengan pertanyaan "apa sih kekuatan keluarga itu?dan bagaimana menghadirkannya di keluarga kita?". Yuk disimak isi kajian bersama beliau.

Ungkapan Family is not (only) an important thing, but everything bisa dibilang tidak berlebihan, namun nyata adanya. Contoh utamanya, saat orang bekerja, salah satu alasan utamanya adalah untuk membahagiakan keluarga. Kekuatan keluarga akan nampak jika seseorang tengah kehilangan keluarganya (sebagaimana nikmat lain yang baru terasa dan dirindukan saat ia tiada, misal saat kita sakit dan merindukan sehat). Betapa banyak orang kehilangan karir saat ia kehilangan keluarga, menunjukkan pentingnya keluarga (saat keluarga bermasalah, kerja nggak akan tenang). Kehilangan keluarga yang dimaksud di sini bukan hanya karena meninggal atau berpusah, namun saat keluarga itu sudah tidak berfungsi. Misal, bapak yang tdk berfungai sebagai bapak, ibu yang kehilangan fungsi ibu. Nikmatnya memiliki keluarga ialah saat sepulang bekerja dan membawa pulang nafkah, dan diterima oleh keluarga. Nikmat ini tentu merupakan hal yang belum dirasakan oleh yang belum berkeluarga (makanya buruan).

Kunci kekuatan keluarga antara lain:

1. Saling menjaga dalam segala aspek, baik secara fisik maupun non-fisik

Paradox teknologi komunikasi, adalah saat suami istri justru jarang berkomunikasi gara-gara gadget. Keluarga harus saling menjaga agar tidak ada gangguan muncul gara-gara gawai elektronik. Terkait gawai, ada beda antara Pria dan Wanita, dimana wanita lebih ingin tahu tentang isi gawai suaminya, sementara suami bakal biasa aja, dan justru disangka cuek. 

Misal, saat suami ditelpon oleh seseorang dan istri melihat, maka istri akan bertanya dari a sampai z tentang siapa yang menelepon. Sebaliknya, saat istri ditelpon seseorang, suami bakal hanya bertanya 'siapa yg telpon?oohh', sudah selesai,tidak perlu tahu segalanya. Hal ini disebabkan oleh desain otak pria dan wanita yang memang berbeda, jadi tidak perlu dipaksakan oleh suami agar istrinya yangan kepo, dan istri jangan berharap suami bakal bertanya mendetil juga.

jangan sampai alat komunikasi malah bikin suami istri kurang komunikasi

Jangan sampai karena hal tersebut, suami jadi malah merahasiakan isi gawainya, lalu malah istrinya sewot karena tidak bisa mengakses. Istri tetap harus dikasih akses, tapi juga jangan kebangetan. 

Saling menjaga dengan cara mengecek isi gawai pasangan memang boleh, tapi juga jangan berlebihan, karena yang lebih penting juga adalah saling percaya. Wanita perlu tahu, bahwa pria perlu mendapat kepercayaan agar merasa dicintai. Sebaliknya, pria jangan melukai kepercayaan istri, karena akan susah mendapat kepercayaan istri jika sudah rusak. Pasangan jangan sampai merahasiakan semua hal, tapi juga jangan juga terlalu polos hingga percaya begitu saja. Kalau memang ada rahasia instansi/perusahaan, maka pisahkan dr gawai pribadi.

2. Saling membahagiakan

Seorang pemimpin barulah disebut pemimpin saat:
  1. Ada yg dipimpun, 
  2. Yang dipimpin menaatinya
Agar yg dipimpin taat, maka ada berbagai cara. Ada dengan cara memberi ancaman (cara diktator), ada juga dengan cara membahagiakan. 

antusiasme jamaah, baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum

Suami sebagai pemimpin istri, pun begitu. Saat istri merasa bahagia dengan suaminya, maka akan lebih mudah baginya utk menaati suaminya. Hal ini lebih enak dibandingkan memaksa istri taat dgn cara mengancam, karena siapapun yang menurut karena terancam, tentulah nurutnya bukan nurut yang sebenar-benarnya. Sebaliknya istri juga punya kewajiban mendukung suaminya menjadi pemimpin yg baik. Tujuannya, ya supaya yang dipimpin dan yang memimpin sama-sama bahagia.

Hal-hal apa saja kah yg bisa membahagiakan pasangan? Tergantung fase apakah yg sedang dilalui pasangan tersebut.

Fase 1: romantic love (fase bulan madu)
Pada fase ini, pasangan akan merasakan pokoknya seneng melulu, indah semua, pengen selalu bersama. Gampang banget bahagianya, asal bareng aja udah senang. Semua kesalahan dan kekurangan pasangan akan dimaafkan dan dimaklumi.

Tapii sayangnya . . . masa ini akan berakhir dalam 3-5 tahun.
Dan lagi, bagi pasangan yang dulunya pacaran sebelum menikah, fase ini bakal dikredit dulu saat sedang pacaran dahulu kala. Tau-tau setelah nanti menikah, maka fase bulan madu itu akan cepat habis (kuapok.makanya langsung nikah). Imbasnya, bisa aja pasangan yang lama pacaran bakal langsung masuk ke fase kedua . . . and the nightmare begins . . .

Fase 2: distress/disappointment
Fase ini bisa dibilang merupakan fase paling berbahaya dalam pernikahan. Saat ini, pasangan mulai saling tidak nyaman, sifat jeleknya pasangan sudah tampak, dan kali ini tidak akan dimaklumi lagi. Misal, dlu saat fase satu, kalau istrinya kesandung akan dibilang dibilang "duh, gapapa say? ati2 ya"; saat fase 2, malah dibilang "matamu taruh mana sih".

Ibaratnya, fase 1 adalah saat kedua seolah berada di awang-awang, dan fase 2 ibarat sudah terhempas ke bumi. Fase 2 ini harus dilewati secepat mungkin, karena kalau enggak, maka pasangan bakal sering konflik karena hal-hal kecil.

Untunglah bagi yang masih jomblo yang ikut kajian ini, biar tahu duluan tentang fase-fase pernikahan, supaya nanti nggak kaget pas udah nikah. Ibaratnya kalau udah tau hal ini kayak naik motor melewati jalan berlubang, dan dia udah tau bahwa jalannnya berlubang, setidaknya dia akan berhati, nggak asal kebut aja, meski nggak jamin bakal bisa menghindari semua lubang. Kalau yang nggak tahu, bakal dikebut aja, eh taunya jalanan berlubang-lubang, bisa celaka deh. 

Fase 3: knowledge
Saat pasangan saling mengenali segala kekurangan pasangan dan mulai mencari solusinya agar sama-sama nyaman.

Fase 4: accepting
Fase menerima segala kekurangan pasangan, dan mencoba berdamai dengan hal itu. 

Fase 5: real love
Kalo fase 1, dianggap sakinah, maka fase 5 adalah rohmah. Nah, saat sudah melewati fase 2, akan lebih mudah membahagiakan pasangan. Kadang konflik suami istri berawal dari hal-hal kecil yang nampak sepele. Misal, pasangan ngorok. Respon pada masing-masing fase ialah sebagai berikut:

  • Fase 1, dianggap musik terindah 
  • Fase 2, jadi masalah gegara susah tidur terganggu dengkuran pasangan
  • Fase 3, cari solusinya
  • Fase 4, ya sudahlah, mungkin udah bentuk fisiologisnya ngga bisa diubah
  • Fase 5, malah ngga bs tidur kalo ngga denger dengkuran pasangan

Setiap fase bisa dicapai siapa saja, bukan masalah kaya miskin, atau apapun. Pasangan yang sudah berada pada fase 5 bukan berarti bebas dari pertengkaran, namun bedanya saat fase 2 itu egonya masih kuat, belum saling kenal mendalam, belum saling menerima. Saat fase 5, konflik itu akan lebih mudah diselesaikan.

Konflik adalah konsekuensi interaksi antar manusia ,makin intens interaksinya, makin tinggi potenai konflik terjadi. Apalagi suami istri yg merupakan interaksi terdekat antar manusia. Konflik itu memang ibarat bumbu kehidupan, asal jangan kebanyakan (masakan kan juga gitu, kalo kebanyakan bumbubya eneg).  
Makin kita mendalami penerapan ilmu agama terkait peran masing-masing dalam keluarga, akan makin mempermudah penyelesaian konflik (bukan meniadakan konflik ya). Hal itu disebut resilience terhadap konflik. Orang yang punya resilience tinggi, akan makin mudah kembali ke kondisi semula. Misal habis kena masalah, seberapa cepar keluarga itu kembali ke kondisi semula (permasalahan yg ad nggak banyak mengubah keadaan mereka). 

Ibarat botol plastik softdrink vs kaleng. 
Botol plastik lebih mudah kembali ke bentuk semula saat diremas, dibanding kaleng dari logam. 

3. Saling tergantung dengan pasangan 

Bukan berarti tidak boleh menjadi independen. Misal, istri bisa cari duit sendiri, suami bisa masak sendiri, masing-masing bisa melakukan segalanya sendiri. Memang independen bagus, tapi bukan berarti makin independen makin bahagia, Pasangan harus saling bergantung satu sama lain. Apa esensinya hidup bersama, kalau sebenarnya bisa mandiri melakukan semuanya? Apa bedanya dengan anak kos yang jomblo?

Maka biarlah istri bergantung pada suami untuk urusan tertentu, dan biarkan suami bersandar pada istri untuk hal-hal tertentu, agar muncul keterikatan yang kuat dengan pasangan. Agar ada rasa "aku nggak lengkap kalau nggak ada kamu".

Semoga bermanfaat untuk kita semua. Wassalamu'alaikum :)

tim di balik layar, semoga berkah (credit semua foto kepada Pakdhe Ardani)

Komentar