Karena Kondisi

Sehubungan dengan usia kandungan istri yang sudah memasuki pekan ke-32, disertai keinginan mertua agar si jabang bayi dilahirkan di Malang sahaja, maka diputuskanlah penulis harus membawa pulang sang istri ke kampung halaman, meninggalkan hingar bingar Jakarta dan kontrakan yang baru ditempati sebulan setengah. Meski sudah terbiasa sendirian di kosan sejak era perantauan, saat kembali ke Jakarta setelah membawa pulang (dan meninggalkan) sang istri di Malang, rasanya begitu berbeda. Dulu kala, sejak jaman Pak Esbeye masih berkuasa, status keluarga memang masih bujang sahaja, belum ada belahan jiwa tempat berbagi cerita. Kini setelah naik pelaminan, dan terbiasa ada yang menanti saat pulang kesorean, terasa begitu sepi dan hampa di kontrakan. Bukan sepi lalu ketakutan sendiri membayangkan makhluk astral yang menemani di sini, tapi lebih ke sedih hati karena ketiadaan istri di sini. Tapi namanya pernikahan harus disertai kompromi, tentu tak bijak jika hanya menuruti ego pribadi. Maka dengan berat hati, penulis merelakan berteman sepi di sini sendiri, demi kelancaran persalinan si buah hati yang sedang dikandung istri, biarlah mereka tenang di kampung halaman ditemani sanak famili. Demikian sekelumit kisah bujang lokal yang di hadapan keluarga harus tampak bijak dan tegar meski cuma sekedar membual karena hatinya justru tengah galau maksimal

Komentar