Rasanya Gimanaaaa Gitu . . .

Suatu ketika, saya naik mikrolet dan kebarengan seorang pengamen karaoke dan putrinya. Sang bapak, mungkin usianya sekitar 40 tahun, rambut di tepi kepalanya sudah banyak yang memutih. Putrinya mungkin sekitar 7 tahunan, mungkin usia SD. Entah mereka naik dari mana, nampaknya baru berangkat mengamen atau sudah mencari nafkah di tempat lain dan mau mencoba peruntungan di wilayah lain. Sesekali sang bapak mengelap wajahnya yang berkeringat dengan selembar handuk kecil lusuh yang disimpan di tas pinggangnya. Wajahnya tampak lelah, sorot matanya pun menyiratkan demikian, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman.

Entah kenapa, tiba-tiba perasaan saya terasa campur aduk. Antara sedih, miris, nggak tega, kasihan, pokoknya jadi mellow gitu. Saya ngebayangin, itu speaker karaoke beratnya berapa kilo, digendong kesana kemari, sambil panas-panasan nyanyi-nyanyi di perempatan lampu merah, atau didepan pertokoan, atau di gang-gang kampung. Entah sampai jam berapa, dan kemana saja mereka akan mengamen. Entah berapa rupiah yang akan masuk ke kantungnya dari belas kasihan para pendengar, yang kebanyakan pun sebenarnya nggak menikmati musik dari koleksi kaset sang pengamen. Entah apa yang akan mereka makan hari ini. Juga besok..

Sepanjang perjalanan saya mengamati mereka berdua. Sang bapak beberapa kali mengobrol dengan putrinya. Tak tampak ekspresi mengeluh, atau bibir yang menggerutu, bapak itu tetap tersenyum. Tak terasa mikrolet sudah sampai di dekat Jatinegara, sang bapak turun di perempatan dekat stasiun. Mencoba mengais rizki di sela-sela kendaraan yang mengepulkan asap polusi. Mencoba memperdengarkan tembang-tembang lawas di sela-sela deru kendaraan dan hiruk pikuk Jakarta.

Dan saya tersadar, bahwa keadaan saya masih lebih baik dari mereka, jauh lebih baik. Saya dipekerjakan di sebuah kantor instansi pemerintah, meski masih berstatus calon dari calon pegawai. Saya bekerja di ruangan ber-AC, dapat makan siang dari kantor, dan dapat pesangon bulanan, meski masih di bawah UMR DKI Jakarta, meski nanti katanya uang itu nampaknya merupakan semacam pinjaman dari kantor, nanti ketika kami sudah jadi pegawai, akan dikembalikan dengan cara potong gaji. Saya cuma harus bersabar dan menunggu kapan diangkat jadi pegawai, tanpa perlu keliling kota sambil membawa surat lamaran ke sana sini-dan juga tanpa perlu membawa kotak karaoke seperti pengamen tadi.

Saya jauh lebih beruntung dari banyak orang seusia saya yang bingung mencari kerja, sementara saya hanya perlu menunggu pengangkatan sambil menikmati penempatan sementara. Apalagi jika dibandingkan dengan orang-orang pinggiran seperti pengamen karaoke yang saya lihat di angkot ketika itu. Lalu masih adakah alasan bagi saya untuk masih terus mengeluh dan tidak bersyukur? Hanya karena sedikit cobaan yang membuat saya harus lebih bersabar menunggu kapan jadi pegawai, haruskah itu membuat saya melupakan begitu banyak nikmat-Nya yang telah diberikan pada saya?

Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban... (potongan dari QS Ar-Rahman, tersebar di 31 ayat)
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan...

#teruntuk kawan-kawanku BC 2012 yang merasa galau karena masih akan kerja bakti sampai oktober, bersabarlah :)

Komentar