Kamu Cantik Kalau . . .

Pembaca suka nonton TV gak? Merhatiin gak, iklan-iklan produk kecantikan sekarang ini, dengan bintang-bintang cantik yang suka berpose asik, ditambah iringan musik dan sinematografi yang apik. Demen kan ngeliatnya? Contohnya, eh, gak jadi. Saya gak mau sebut merk, atau sebut nama bintang iklannya. Saya ngomentarin fenomena ini aja. Fenomena iklan cantik.
Wajar, kalau yang dipilih sebagai bintang iklan produk kecantikan adalah bintang-bintang yang berparas cantik, manis, atau setidaknya menarik. Yah namanya aja produk kecantikan, masa bintang iklannya yang 'kurang' atau 'tidak' cantik (setidaknya menurut produser iklan), ya nggak laku dong produknya. Dan ketika pemirsa diberondong dengan iklan-iklan berparas cantik tersebut, maka akan terbentuk suatu image bahwa yang cantik itu, ya seperti yang di TV itu. Yang seperti di iklan pemutih kulit, penghilang jerawat, produk perawatan rambut, alat pelangsing badan, dan produk-produk sejenis lainnya. Bahwa kalau pakai produk-produk tersebut, bisa jadi cantik macam yang di iklan itu (susah nih, padahal muka udah segitu-gitu aja, berharap metamorfosis jadi kayak bintang iklan yang cantik-cantik). Jujur aja, menurut saya, ya emang kebanyakan bintang iklan produk-produk kecantikan tersebut ya memang cantik dari sononya, mungkin udah bawaan orok atau sifat genetis yang tak terbantahkan (meski gak semuanya masuk kategori cantik versi saya, dan juga versi masing-masing pemirsa tentunya). Konsekuensinya, yang gak seperti di iklan tersebut, mendapat label 'gak cantik (saya nggak menyebutnya jelek)', setidaknya menurut produsen produk-produk tersebut.
Sadar atau tidak, ketika kita keseringan nonton wajah-wajah cantik di TV, (sebagian dari) kita akan membuat standar cantik seperti yang di TV itu (terutama cowok kali ya). Seolah-olah, yang cantik adalah yang : berkulit putih mulus tanpa flek dan jerawat; berambut hitam-lurus-panjang-berkilau yang kalo diratoh sisir di rambutnya tuh sisir bakalan jatoh sendiri; yang bodinya semlohai berkat produk bernama aneh dengan kemampuan inframerah peluntur lemak; yang senyumnya berkilau cling macam salah satu tokoh di film jadul Dono-Kasino-Indro (kalo nggak tau tokoh yang saya maksud, coba cari aja film DKI di rental VCD terdekat); dan sederet standar iklan lainnya.
Konyol, menurut saya, ketika kita menyadari bahwa mereka (bintang-bintang cantik tersebut) kebanyakan memang cantik dari sononya. Mungkin mereka memang pakai produk kecantikan sendiri, memiliki jadwal perawatan kecantikan sendiri, dengan budget sendiri sesuai isi dompet (atau rekening) mereka sendiri, yang kemungkinan besar, tidak seharga sekian belas ribu rupiah-harga yang sesuai untuk mayoritas masyarakat. Saya ragu, apakah mungkin mereka memakai produk-produk kecantikan yang mereka sodorkan di iklan, alih-alih memakai produk perawatan berharga jutaan (artinya angka yang memiliki 6 angka nol di belakang) di salon-salon kecantikan langganan mereka.
Dan lebih konyol lagi kalau ada yang termakan iklan-iklan tersebut, merasa perlu memakai produk-produk tersebut demi menjadi cantik (setidaknya memiliki salah satu unsur kecantikan yang ditonjolkan dalam iklan produk tersebut) seperti sang bintang iklan.
Miris, ketika saya melihat beberapa wanita yang jadi tidak percaya diri ketika mendapati dirinya tidak masuk dalam kriteria cantik yang ditonjolkan di iklan-iklan. Saya punya seorang teman wanita, yang berkulit agak gelap, yang tentu saja sering menjadi bahan guyonan di antara kawan-kawannya. Dan dia sepertinya menjadi agak minder dengan warna kulitnya tersebut. Padahal dia orangnya asik, perhatian ke temen, suka bercanda, pintar, dan memang manis (banyak yang bilang begitu, banyak juga sebenarnya temen cowok yang suka ke dia).
Lebih miris lagi, kalau melihat para lelaki yang mencari pasangan berdasar standar cantik berdasar iklan-iklan tersebut. Ada seorang rekan, yang yang punya temen deket, tapi berniat mengakhiri hubungannya lantaran (katanya) si gadis tersebut kurang cantik, ada yang lain yang lebih cantik (padahal ngedeketin yang lain aja belum tentu dapet).
Sebenarnya nggak salah juga sih, memasang bintang-bintang cantik dalam iklan produk kecantikan, kan biar laku produknya. Bukankah dalam prinsip kapitalisasi, semuanya dihalalkan demi mencari keuntungan, bahkan mengorbankan dan menipu konsumen pun boleh :) (bagi yang nggak paham, saya mengatakan ini dengan nada sarkastik). Yang salah adalah persepsi kita sendiri, yang terlalu banyak menelan iklan tersebut mentah-mentah dan membuat standar semu. Bahwa wanita yang cantik itu, ya seperti yang tadi itu.
Padahal, apalah artinya kecantikan fisik, tanpa kecantikan akhlak dan kepribadian? Bayangin aja misalnya anda punya teman wanita yang cantik macam bidadari (secantik apa itu? saya sendiri belum pernah liat bidadari) namun tingkah lakunya amit-amit. Misuhan, sombong, matre, pilih-pilih temen, suka manfaatin orang, suka mencela orang, ditambah otaknya kurang cerdas lagi (ini cuma contoh lo, saya gak merujuk ke individu-individu tertentu, tapi maaf kalau ada yang tersinggung). Bandingkan dengan, wanita yang wajahnya biasa saja, bahkan dikata jelek oleh sebagian orang, namun dia orang yang santun, lembut, pintar, sopan, gitu. Anda lebih suka berteman dengan yang mana? Kalau saya sih milih berteman dengan yang kedua, ogah deket-deket sama yang pertama, cukup diliat dari jauh aja. Hehehe. Tapi kalau pembaca berpikiran lain, ya silahkan, saya nggak ngelarang kok.
Cuma ya kita inget aja, kalau kecantikan fisik tanpa kecantikan batin, ibarat cangkang kerang yang indah coraknya namun kosong, sementara wanita yang kurang di sisi fisik namun baik akhlaknya, punya inner beauty, ibarat kerang mutiara yang cangkangnya nggak bagus, namun penuh berisi mutiara. Tentu saja, keduanya bisa dijual, bukankah cangkang kerang yang bagus juga bisa dijadikan hiasan? Tapi mana yang lebih berharga, cangkang saja atau mutiaranya?. So Gals, be dare to show your inner beauty
!

Komentar